Pendapat Ulama Para ulama terhadap ayat muhkam dan mutasyabih

Pendapat Ulama Para ulama terhadap ayat muhkam dan mutasyabih
Secara umum penulis telah menguraikan argumentasi para ulama terhadap perbedaan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Namun dalam hal ini penulis mencoba mengkerujutkan lagi pendapat ulama tersebut dalam dua kelompok yaitu;

Mazdhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri. (Tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an. Serta menyerahkan usrusan mengetahui hakikat kepada Allah sendiri. Sedangkan Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa’ beliau berkata:
الاستواء معلوم و الكيف مجهول  والسؤال عنه بدعة و اظنك رجل السوء اخرجوه عنّىى.
Artinya:
Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakanya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majelis saya.


Mazdhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya mentakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah.

Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat mutasyabih itu, mengimani hal-hal ghaib sebagaimana dituturkan Al-Qur’an, dan meyerahkan sepenuhnya pengertian itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan pentakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih. Istiwa’ ditakwilkan dengan keluhuran yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kesusahan.”kedatangan Allah” ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya. 




“Allah berada di atas hambaNya” menunjukkan kemaha tinggianNya, bukan menunjukkakn bahwa Dia menempati suatu tempat. “sisi Allah” ditakwilkan dengan hak Allah. “wajah dan mata Allah” ditakwilkan pengawasanNya, dan “diri” ditakwilkan dengan siksaNya.
Demikianlah prinsip penafsiran ulama khalaf. Kesan-kesan pada ayat Al-Qur’an ditakwilkan dengan arti yang cocok dengan kesucian Allah.

Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-‘Id mengatakan bahwa apabila pentakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, pentakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf(tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah.

Ibnu Quthaibah (276 H) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah pentakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.

Baca Juga
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Muhkam dan Mutasyabih
Pembagian ayat-ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an
Hikmah dan Nilai-nilai Pendidikan dalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
 

Popular posts from this blog

Macam-Macam Amtsal dan Contohnya

Langkah-Langkah Penggunaan Media Gambar dalam Pembelajaran

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TANAMAN SAWI